Arsip Blog

Ada Apa dengan Uban?

oleh : al-Ustadz Abul-Hasan al-wonogiry hafizhahullah

Disebutkan dalam hadits Amr bin Syu’aib : “Janganlah kalian mencabut uban ,karena itu cahaya seorang muslim ( dalam lafadz yang lain : mu’min ) tidaklah seorang muslim yang tumbuh ubannya melainkan ditulis untuknya satu kebaikan dan diangkat derajatnya ….” (Dishohihkan oleh Al-bany dalam Shohih Sunan Ibnu Majah)

Hikmah dalam Uban :
1. Cahaya seorang muslim .
2. Peringatan dekatnya ajal karena mayoritas tumbuh pada manula .
3. Memendekkan angan -angan .
4. Pendorong amal sholih .
5. Menambah kewibawaan .

Berkata Ibnul A’roby : ” Dilarang mencabut tanpa menyemir karena mencabut merudah ciptaan dari asalnya adapun menyemir tidak “.
tetapi dilarang menyemir uban dengan warna hitam .

Disebutkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Ibnu Abbas : “Uban yang diubun-ubun adalah kemuliaan , uban dipelipis adalah sifat waro’, uban di kumis adalah buruk uban ditengkuk adalah celaan “.

Sumber : http://almuwahhidiin.com/

Empat Perkara yang Wajib dipelajari setiap Muslim

Bismillahirrahmanirrahim,
Segala puji hanya bagi Allah, dan shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Amma ba’du.

Wahai kaum muslimin, ketahuilah! Sesungguhnya ada empat perkara yang wajib untuk kita mempelajarinya, yaitu :

Pertama, Ilmu
Dan ilmu adalah kita mengenal Allah, mengenal RasulNya serta mengenal agama islam dengan berpijak diatas dalil-dalil.

Kedua, Beramal dengan ilmu tersebut.
Ketiga, Kita mendakwahkan ilmu tersebut.
Keempat, Kita bersabar untuk tiga perkara diatas.

Adapun dalil akan wajibnya mempelajari empat perkara diatas adalah firman Allah :
وَالْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal saleh, dan saling mewasiatkan kebenaran serta saling berwasiat untuk bersabar”. Al ‘ashr : 1-3.

Al Imam Asy Syafi’i berkata tentang surat ini : “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah melainkan hanya surat ini saja, maka sungguh hal itu sudah cukup bagi manusia”.

Al Imam Al Bukhari membuat sebuah bab dalam kitab shohihnya;
” العلم قبل القول و العمل “
“berilmu sebelum berucap dan beramal”, berdalilkan dengan ayat :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah, bahwasanya tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan mohonlah ampunan untuk dosamu”. Muhammad : 19.

Maka wajiblah seorang Muslim agar berilmu sebelum ia berucap dan beramal.

Wallahul Muwaffiq.
[disadur oleh Imam Syuhada Al Iskandar, lihat kitab Tsalatsah al Ushul karya Syekh Muhammad at Tamimi]

Sumber: http://imamsyuhada.wordpress.com

Shalat dan Hukumnya bag – 1

Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya. Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.

Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:

رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

“Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (HR. Ahmad 5/231, at-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3979, dishahihkan asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi dan Shahih Ibnu Majah)

Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan bagi mereka.” (At-Taubah: 103)

Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ، وَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)

Ibadah shalat dinamakan dengan nama doa karena tercakup di dalamnya doa-doa.

Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu ‘alal Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, asy-Syarhul Mumti’, 1/343, Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109)

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i.

Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:

“Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat. Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)

Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)

Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu saat mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang tinggal di negeri tersebut:

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ

“Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka lima shalat dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)

Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, al-Mughni, kitab Ash-Shalah, asy-Syarhul Mumti’, 1/345)

Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk ibadah badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 1/79)

 

Penyebutan Shalat dalam Al-Qur`an

Banyak sekali ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala yang menyebutkan tentang shalat. Terkadang digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah subhanahu wa ta’ala) seperti dalam ayat berikut ini (yang artinya):

“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk mengingat Allah (berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala) dengan banyak.” (Al-‘Ankabut: 45)

“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)

Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat (yang artinya):

“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110)

Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45)

Dan lain sebagainya.

 

Keutamaan Shalat dan Kedudukannya dalam Islam

Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan agung dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, tidak hanya pada umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada Maryam ibunda ‘Isa ‘alaihis salaam (yang artinya):

“Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)

Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan penghubung antara seseorang dengan Rabb-nya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah subhanahu wa ta’ala tanpa perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)

Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian) maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)

Allah subhanahu wa ta’ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:

“Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman (artinya):

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)

Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan seorang hamba setelah ia mengikrarkan dua kalimat syahadat (mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat (yang artinya):

“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (At-Taubah: 5)

Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:

“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)

Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:

“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud: 114)

Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah subhanahu wa ta’ala melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya, ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air atau udzur (berhalangan) untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum. (Ta’zhim Qadri ash-Shalah, al-Imam al-Marwazi, 1/170)

Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam agama ini, di antaranya:

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Amalan yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian, di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520)

Bersambung Insya Allah…

sumber: Buletin Alilmu

10 Adab Dalam Masalah Buang Hajat

Buang hajat merupakan rutinitas amaliyah yang sering dilakukan semua orang. Maka alangkah baiknya bila kita mengetahui adab-adab buang hajat sesuai dengan tuntunan syari’at Islam yang mulia ini.

Adanya tuntunan dalam masalah buang hajat ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat sempurna. Tidak ada yang tersisa dari problematika umat ini, melainkan telah dijelaskan secara gamblang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tak heran, jika kaum musyrikin pernah terperangah seraya berkata kepada Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu:

Sungguh nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu sampai-sampai perkara adab buang hajat sekalipun.” Salman menjawab: “Ya, benar…” (HR. Muslim No. 262)

Diantara adab-adab tersebut adalah:

1. Berdo’a Sebelum Masuk WC

WC dan yang semisalnya merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh setan. Maka sepantasnya seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah subhanahu wata’ala dari kejelekan makhluk tersebut. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan do’a ketika akan masuk WC:

(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبُثِ وَ الْخَبَائِثِ

(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375. Adapun tambahan basmalah diawal hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Doa ini dapat pula dibaca dengan lafazh:

(بِسْمِ اللهِ) اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنَ الْخُبْثِ وَ الْخَبَائِثِ

“(Dengan menyebut nama Allah) Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari segala bentuk kejahatan dan para pelakunya.” (Lihat Fathul Bari dan Syarhu Shahih Muslim pada penjelasan hadits diatas)

2. Mendahulukan Kaki Kiri Ketika Masuk WC Dan Mendahulukan Kaki Kanan Ketika Keluar

Dalam masalah ini tidak terdapat hadits shahih yang secara khusus menyebutkan disukainya mendahulukan kaki kiri ketika hendak masuk WC. Hanya saja terdapat hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menyukai mendahulukan yang kanan pada setiap perkara yang baik.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, beberapa ulama seperti Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau, Syarhu Shahih Muslim, dan juga Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Id menyebutkan disukainya seseorang yang masuk WC dengan mendahulukan kaki kiri dan ketika keluar dengan mendahulukan kaki kanan.

3. Tidak Membawa Sesuatu Yang Terdapat Padanya Nama Allah subhanahu wata’ala Atau Ayat Al-Qur`an kedalam WC Read the rest of this entry

Buletin Jumat: Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Penulis: Redaksi Assalafy.org
Menjaga Aqidah Ketika Sakit

Setiap orang yang beriman pasti akan diberikan ujian oleh Allah subhanahu wata’ala. Ujian tersebut beragam bentuknya, sesuai kondisi dan kadar keimanan seseorang. Ujian bisa berupa kesenangan dan bisa pula berupa kesusahan. Dan salah satu dari bentuk ujian tersebut adalah tertimpanya seseorang dengan suatu penyakit yang menggerogoti dirinya.

Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala sebutkan dalam surat Al-‘Ankabut ayat 1sampai 3, bahwa hikmah diberikannya ujian kepada kaum mukminin adalah untuk mengetahui[1] siapa yang jujur dan siapa yang dusta dalam pengakuan iman mereka tersebut.

Demikian juga ketika sakit, seseorang akan teruji tingkat kejujuran iman dan aqidah dia. Sangat disayangkan, ternyata di sana masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh orang yang sedang tertimpa penyakit. Di antara mereka ada yang tidak menerima bahkan menolak takdir Allah yang sedang dia rasakan tersebut. Bahkan ada yang mengatakan dan mengklaim bahwa Allah tidak adil kepada dirinya, Allah telah berbuat zhalim kepadanya, dan sebagainya, na’udzubillah min dzalik. Ada pula yang tidak sabar dan putus asa dengan keadaannya tersebut sehingga dia sangat berharap ajal segera menjemputnya. Dan bahkan ada pula yang nekad melakukan upaya bunuh diri dengan harapan penderitaannya segera berakhir. Ini semua menunjukkan lemahnya iman dan kurang jujurnya dia dalam ikrar keimanannya tersebut.

Lalu bagaimana bimbingan syari’at yang mulia dan sempurna ini dalam menyikapi permasalahan-permasalahan seperti itu? Read the rest of this entry